Sabtu, 04 Januari 2014

#Fragmen: Tepuk Tangan

Ketika semua orang di kelas bertepuktangan karena merasa kagum dan terhibur karena kerjaan si Zen --orang Padang itu-- aku merasa iri --walaupun aku juga merasa terhibur dan ikut tertawa bersama yang lain. Jelaslah, siapa yang tidak akan tertawa dan tanpa aba-aba akan memberikan tanggapan berupa tepuk tangan yang semeriah dan segegapgempita seperti ini. Si Zen ini telah benar-benar melontarkan lelucon di muka tiga puluh lima orang peserta kursus berserta seorang ibu pengajar. Dengan polosnya ia membuat kalimat bahasa Jerman menggunakan preposisi "wenn" "ketika" dengan menerjemahkan peribahasa populer dari bahasa Indonesia "sambil menyelam minum air" menjadi "wenn ich schwimme, trinke ich". Benar-benar lucu dan menggelikan. Dan ia pun sukses menghibur seisi kelas.
Lantas mengapa aku memiliki segumpal rasa iri dan secuil dengki? Apa yang dilakukannya memang sederhana dan sangat polos akan tetapi karena duniaku dulu adalah dunia yang penuh pujian maka aku merasa iri. Hal itu diakibatkan karena tiada lain dan tiadabukan karena dulu aku mendapatkan semua pujian dari prestasi-prestasi yang kumiliki. Di pundakku kubawa nama baik dan nama harum sekolah menengah pertama di mana aku menimba ilmu. Itu memang sudah lama terjadi --dulu sekali, dan sekarang tak lagi seperti itu-- dan telah menjadi kenangan indah dan manis peninggalan masa lampau, dan semua itu sudah tak lagi jadi milikku. Aku merasa kesepian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar