Rabu, 05 September 2012

#Cerpen: Menunggu

Menunggu Perjalanan yang melelahkan. Dan lumayan jauh. Antara kampus dan rumah kost. Bolak-balik. Karena jadwal yang tidak teratur. Terlalu banyak jadwal yang kosong. Dan aku berjalan kaki. Sedang panas terik. Aku menderita. Flu berat. Dan jalanan yang berdebu. Ditambah polusi dari asap knalpot. Keringatku mengucur deras. Dan betapa beruntungnya aku, mendapat kesegaran di ruang ATM yang ber-AC. Ke ATM lagi untuk mengisi pulsa dan setelahnya kuputuskan untuk duduk-duduk di depan bangunan ATM center barang sejenak. Langsung ke kampus? Sempat terpikir untuk segera berangkat tetapi jam segini teman-temanku pasti juga belum akan mau menuju kampus. Jadi kupikir lebih baik menunggu di sini sebentar. Lagipula mereka pasti akan lewat sini. Mereka pasti akan lebih memilih untuk telat masuk kelas, tipikal orang Indonesia. Jadi, salahku sendiri sebenarnya mengapa harus panas-panasan sekarang: terlalu rajin ngampus. Terlalu naif untuk mengatakan bahwa diriku adalah orang yang terlalu rajin. Seperti akan mendapatkan penghargaan saja aku ini. Nyamannya duduk di tempat yang terlindung dari terik matahari. Kupasang headset di telingaku. Kucolokan audio jack 3.5 mm ke ponselku. Lalu tekan tombol play. Serta-merta alunan lagu-lagu berbahasa Inggris membahana di telingaku, lagu-lagu favoritku. Koleksiku yang sudah mulai usang karena terlalu sering ku dengarkan. Tetapi walau bagaimanapun, mendengarkan musik memang bisa menusir rasa bosan dan jenuh. Ada seorang laki-laki yang duduk di dekatku. Sepertinya dia juga mahasiswa. Aku sudah melihatnya duduk di tempatnya sekarang. Dia sudah duduk di sana lebih lama daripada aku. Angkot-angkot ngetem di depan ATM center ini. Tanpa penumpang. Dan para supirnya tentu saja beristirahat. Pemandangan yang biasa terlihat siang hari begini. "Lagi nunggu seseorang?" laki-laki itu berbicara. Pada siapa? Kepadaku? Memang dia yang bertanya dan yang ditanya itu adalah aku. Dia bahkan telah menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat denganku. Lalu aku menoleh ke arah laki-laki itu duduk, di sebelah kananku. Ku buka earphone-ku. "Enggak, lagi istirahat aja." Jawabku agak kurang peduli. Walaupun aku tahu kalau dia memang ingin mengobrol dengan seseorang dan hanya ada aku di dekatnya yang bisa dia ajak ngobrol. Ku menoleh ke depan lagi, kembali asik dengan lagu-lagu berbahasa Inggris yang sedang aku dengarkan sedari tadi. "Kalau saya sih emang lagi nunggu temen." Kembali ku menoleh kearahnya. Berusaha memperhatikannya sekarang. Kupegangi earphone kananku, supaya aku bisa mendengarkannya. Aku berusaha untuk menyimak apa yang akan dia katakan kepadaku. Aku akan mendengarkannya. Itu janjiku kepada diriku sendiri. "Saya sudah cukup lama nunggu di sini. Sekitar setengah jamlah." Aku tersenyum kepada laki-laki yang tak kutahu namanya itu. Dan aku hanya berkata, "oh" sebagai jawaban atas apa yang dia katakan. Maafkan aku. Senyumku yang sedikit tersimpul sebenarnya kutujukan sebagai sekadar permohonan maaf. Tanpa kata yang terucap dan tanpa ekspresi yang berlebihan. Tapi harus apa lagi, harus bagaimana lagi. Mau apa lagi, tak ada hal lain yang bisa kulakukan. Karena aku bukan orang yang ahli mengobrol dengan siapapun. Mengobrol dengan orang yang sudah agak lama kukenal pun aku masih canggung apalagi dengan orang asing, orang yang baru di kenal di tempat seperti ini pula. Tetapi ada satu hal yang bisa kubanggakan dari apa yang ada dalam diriku adalah kemampuan mendengarku yang sangat baik. Aku pendengar yang baik, yeah. Batinku berteriak. Jadi apa yang akan aku lakukan sekarang adalah mendengarkannya baik-baik. Jeda sejenak. Hening. Aku diam dan dia tak berbicara. Ah, dia pasti menunggu aku yang sedang berpikir sendiri ini mengatakan sesuatu. Kenyataannya aku malah menjadi sibuk dengan playlist lagu-lagu berbahasa Inggris di telingaku melalui earphone. Apa aku baru saja telah melanggar janji yang telah kubuat sendiri tadi? "Dari fakultas mana?" Tanyanya lagi, membuatku kaget dan membuyarkan lamunanku. Memecah konsentrasi pendengaranku akan playlist bahasa Inggrisku. "Sastra," kukatakan nama fakultasku dengan sedikit canggung. Aku kaget sebenarnya. "Satra apa?" Tanyanya menambahkan. "Saya?" Jawabku masih merasa kaget, "Sastra Jerman," imbuhku. Kata-kata terakhir yang aku keluarkan dari mulutku sedikit teredam karena aku berusaha menelan ludah dari dalam mulutku ke dalam tenggorokanku. Aku haus. Kuharap ia bisa mendengar dengan jelas apa jawabku. Semoga saja. "Saya juga dari sastra." Dia mengatakan sesuatu, berarti dia mendengarku. Untunglah, berarti suaraku tak benar-benar hilang. Syukurlah. "Sastra Inggris," tambahnya lagi. Mengenai hal yang terakhir itu, apakah dia menjawab sebuah pertanyaan dariku? Tidak. Aku malah tak bertanya apapun. Apa yang ia katakan itu bagiku hanyalah sebuah penyataan spontan. Menjadi sebuah keuntungan bagiku mengetahui detail tentang orang ini secara lebih spesifik tanpa perlu kutanyakan. Maaf sebelumnya, karena aku bukan orang yang berbakat mengobrol dengan orang asing terutama sekali dengan yang baru saja dikenal. Aku bukan orang yang supel, mudah berkenalan dengan orang asing dan dengan antusiaisme tinggi mengobrol dengannya. Peringatan bagi anda yang belum mengenal kepribadian saya: silahkan mulailah sebuah percakapan dengan saya dan mengakhirinya dari pihak anda, secara sepihak pun tak mengapa. Aturan main ini berlaku juga untuk laki-laki yang sedang mengobrol denganku sekarang ini. "Semester berapa sekarang?" tanyanya lagi. "Saya? Baru semester satu." Jawabku agak datar. "Emang kamu lulusan tahun berapa?" "Dua ribu sepuluh," jawabku lancar. "Berarti masih baru yah?" Yeah, tentu saja. Aku memang angkatan fresh. Segera setelah lulus SMA langsung masuk kuliah, lewat jalur SNMPTN. Tak enak juga memang terjebak dalam situasi seperti ini. Terperangkap dalam percakapan dengan orang yang sama sekali asing. Aku serasa menjadi seorang narasumber yang diwawancarai dan hasil dari wawancaranya itu akan dimuat di sebuah majalah beroplah besar. Sepertinya aku sekarang harus mulai bertanya balik: aku harus menanyainya. Supaya percakapan ini menjadi cair dan agar aku tak merasa canggung mengobrol dengan orang seasing dirinya. Maka, kali ini kuberanikan balik bertanya. "Kamu semester berapa memangnya?" Tidak sopan menunjuk-nunjuk orang asing, tapi tetap kulakukan juga. "Saya semester lima." Kuperhatikan mulutnya komat-kamit dan tanganya digerak-gerakan seperti sednag menghitung. "Saya berarti angkatan dua ribu delapan." Senyuman tersimpul dariku lagi-lagi kugunakan sebagai isayarat bahwa aku betul-betul mendengarkan apa yang dikatakannya dan aku mengerti. Tipe jawaban yang sudah menjadi sesuatu yang monoton: membosankan. "Ternyata. Membosankan juga yah menunggu seperti ini." Katanya. Kuanggap perkataannya adalah sebuah curahan isi hatinya. Isi hatiku juga. Meskipun tak ada seorangpun yang aku tunggui. "Iya, menunggu memang membosankan." Kuiyakan pernyataannya. Aku setuju. Sangat setuju sekali. Seratus persen memang benar apa yang dia katakan itu. Karena menunggu memang sangat membosankan. Aku paling tidak suka menunggu apapun atau siapapun. Kemudian dia mengeluarkan handphone -nya dari dalam saku celana jeansnya. "Nah, teman saya sms. Katanya dia masih di jalan." Aku menoleh lagi kearahnya. Mendengarkannya lagi. "Padahal saya sudah menunggu di sini, cukup lama sekali. Ternyata teman saya ini masih di jalan. Dia cuma mau pinjem buku ini." Katanya lagi, sambil menunjukkan sebuah buku cetak berukuran buku tulis biasa. Buku yang sejak awal pertama tadi aku melihatnya. Kuingat buku yang bersampul cokelat itu berjudul 'Sejarah Kebudayaan Indonesia.' Dari judulnya seharusnya aku sudah bisa menduga siapa dia, dan di semester berapa sekarang dia belajar semester ini. Tetapi apa yang dikatakannya itu sesungguhnya tak menarik bagiku. Barulah apa yang dikatakannya kemudian yang membangkitkan ketertarikanku terhadap semua hal yang dibicarakannya denganku. "Pernah nonton Hachinko?" Dengan spontan kujawab "belum, belum pernah." "Film Jepang?" Karena aku begitu tertariknya dengan pertanyaannya maka, secara spontan aku malah balik bertanya. Sangat mudah ditebak dari judulnya bahwa film yang dia bicarakan itu merupakan film Jepang. Sangat mudah sekali. "Yap, betul." Jawaban pendek meluncur dari bibirnya. Ada jeda lagi diantara percakapan dia dan aku. Kupikir dia sedang menungguku mengatakan sesuatu. Kubayangkan seperti seorang pemancing yang sedang menunggu umpannya dimakan ikan pancinganya. "Ceritanya seperti apa?" Pertanyaan lagi, sebagai jawaban spontan sekali lagi meluncur dari mulutku. "Film itu bercerita tentang anjing yang setia kepada pemiliknya. Pemilik Hachinko adalah seorang profesor yang setiap hari naik kereta api ke universitas di mana ia mengajar dan anjingnya itu selalu tepat waktu mengantar-jemput pemiliknya itu. Selama sepuluh tahun si anjing menunggu sang profesor sampai meninggal tanpa tahu kalau sang profesor telah meninggal. Betapa setianya Hachinko itu." "Hmm, memang harus tabah yah kalau menunggu seseorang itu," pikirku. Dia seharusnya tak mendengar apa yang aku pikirkan. Dia seharusnya tak menjawab pikiranku ini. "Nah, kebayang kan? Nunggu satu setengah jam aja kayak gini, gimana nunggu sepuluh tahun? Di stasiun lagi!" Mengangguk pelan, lagi-lagi hanya hal itu yang bisa aku lakukan sebagai jawaban dan tanda persetujuan. "Saya sih sebenarnya lebih suka baca daripada nonton film. Saya juga lebih seneng nonton film yang diadaptasi dari buku." Itulah pendapatku mengenai film yang laki-laki ini ceritakan. "Film ini juga diangkat dari buku." Katanya tegas. "Oh, yah?" Kataku tak percaya, karena tak pernah sekalipun aku melihat buku yang berjudul 'Hachinko' di toko buku ataupun perpustakaan yang menjadi tempat favoritku menghabiskan waktu. "Iyah. Terus diangkat ke layar lebar di Jepang tapi nggak booming. Terus dibuat versi remake Hollywood Amerika yang bikin film ini booming." Hanya bisa tersenyum diriku, lagi. Aku mulai memproses setiap informasi yang kudapatkan dari obrolan dengan orang asing ini: menunggu seseorang dan tentang Hachinko. Jeda sejenak yang muncul kembali. Aku diam dan dia diam. Aku sedang berpikir mungkin dia juga. Sepertinya dia memang harus selalu memulai percakapan dan aku harus selalu mendengarkan. Tapi aku bersedia kalau memang harus selalu mendengarkan. "Masih lama ternyata, teman saya itu. Dasar cewek, mungkin saat dia bilang lagi di jalan dia malah lagi berdandan di kosannya di jalan Sayang." Aku dengar. Tapi aku juga asik dengan hape di tangan dan sesekali memperhatikan angkot-angkot yang berhenti dan melaju serta motor dan mobil yang berlalu lalang. Dan orang yang mengobrol denganku ini kuabaikan sejenak. Maaf. Secara tiba-tiba ia berdiri. Aku segera mengalihkan perhatian ke arahnya. Apa dia akan segera pergi? Ataukah teman yang 'selama' ini ditungguinya telah datang? Ternyata teman wanitanya telah datang. Mereka berdua berdiri, dan aku masih terus duduk. Aku diam-diam memperhatikan mereka. Aku menguping pembicaraan mereka. "Sory yah, gue baru dateng. Mana bukunya?" "Ini bukunya." Laki-laki yang menjadi teman mengobrolku tadi menyerahkan buku yang selama ia menunggu kepada seorang perempuan yang ia tunggu. Buku yang aku sadari menunjukkan identitasnya. "Lu kok bisa sih dapet 'A' di matkul kayak gini? Gue paling anti ama matkul yang materi hapalam kayak ini. Gimana sih? Ajarin gue dong!" "Gampang aja sih sebetulnya." "Terus gue paling susah kalau pas tes disuruh nulis pendapat ato argumen. Ajarain gue yah!" "Gak susah kok. Tinggal tulis pendapat sendiri ajah. Apa susahnya coba?" "Gitu yah. Yaudahlah. Makasih udah mau minjemin. Duluan yah. Buru-buru nih. Dah!" Lalu wanita itu pergi. Sekarang teman mengobrolku itu melihat ke arahku. Dia pamit rupanya. Aku mengiyakan kepergiaannya dengan senyuman yang sedikit dilebarkan. Dia berpaling dan pergi. Aku kemudian kembali memperhatikan angkot-angkot yang mengantri. Aku memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang, siapa tahu ada teman sekelasku yang dengan mereka aku bisa pergi bersama ke kelasku di jam selanjutnya.