Senin, 22 Juli 2013

#Cerpen: Putih

Aku punya seorang teman yang sangat akrab sekali denganku. Kami seumuran dan banyak orang yang menyangka kami berdua adalah sepasang saudara kembar. Tidak terlalu mirip dalam hal wajah tetapi ada begitu banyak kesamaan fisik diantara kami berdua. Tidak heran karena apa yang dia suka aku pasti suka. Yang tidak kami suka pun sama juga. Aku tahu bahwa kami tak begitu suka olahraga. Baju yang kami punya pun tak akan berbeda. T-shirt dan jaket maupun jeans sebisa mungkin sama. Gaya rambut kami pun sama. Ketika salah satu dari kami bergaya spike maka, yang lain ikut-ikutan. Dan begitu pun makanan serta minuman favoit kami. Aku suka cendol dia pun juga. Dia suka martabak manis, aku pun begitu.
Semua itu terjadi tak lain karena keluarga kami sudah dekat satu sama lain. Tetapi aku menganggapnya sebagai kakak kandungku. Kami selalu bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, dan kami berdua selalu duduk sebangku. Kuliah pun kami bersama. Ya, kami menempuh pendidikan di jurusan yang sama. Maka, lengkaplah kekembaran kami ini. Aku berpikir bahwa aku ada untuknya dan dia ada hanya untukku. Terlalu obsesif, pikirku.
Tetapi belakangan ini menurutku sikapnya menjadi semakin aneh dan mengherankan. Apa sebab? Ah, dia semakin menjadi orang yang beraliran "putih". Meskipun iya aku juga senang dengan warna itu tetapi, saat ini kegemarannya dengan segala hal yang berwarna putih semakin menjadi. Baju dan celana berwarna putih atau setidaknya mendekati itu, lalu kaos kaki lalu sepatu. Gadget pun tak ketinggalan. Dompet. Jam tangan. Tas punggung pun. Aduh jaket juga. Pernah suatu saat aku berkata padanya: "Kenapa kamu ini? Segalanya serba putih. Kau mau mati secepatnya ya?" Tanyaku dengan nada bercanda. Tetapi jawaban yang ia lontarkan tak main-main sungguh.
Ia hanya diam. Memasang mimik muka serius dan pucat. Seingatku, seseorang yang bisa membentuk mimik muka seperti itu hanyalah Robert Patinson ketika ia berperan sebagai Edward Cullen, seorang vampir di film Twilight awal. Dia serius dan itu hanya akan membuatku takut dan khawatir membuatku menyesal. Aku menyesal sekarang.
Menit berikutnya dia berkata lirih: "Ketika aku mati memang yang akan kukenakan adalah kain kafan berwarna putih." Itu saja. Dan jujur, perkataannya membuatku bergidik dan bulu kudukku benar-benar berdiri sekarang. Dia lalu berdiri dan pergi. Aku hanya duduk saja diam sampai hanya rambut hitamnya saja yang terakhir kali kulihat ketika dia berbelok di gang antara gedung perpustakaan dan aula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar