Jumat, 02 Agustus 2013

#AsalUsul: Arti Kata Wado Menurut Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian

Tulisan ini saya buat terutama karena didorong oleh rasa keingintahuan saya yang sangat besar yang terus-menerus saya pikirkan selama kurang lebih sebelas tahun belakangan ini. Waktu itu, ketika saya duduk di bangku SMP, guru mata pelajaran Geografi saya bercerita tentang asal muasal nama beberapa daerah di sekitar lingkungan sekolah. Contohnya yang saya masih sangat ingat adalah asal nama Buah Ngariung (pohon atau buah mangg yang berkumpul) adalah karena dulu di daerah itu banyak sekali pohon mangga dengan buah-buahnya yang sangat banyak dan lebat. Maka, dinamakanlah tempat itu sebagai desa Buah Ngariung. Kemudian nama desa tempat saya dan keluarga besar tinggal diambil dari nama tanaman sejenis umbi-umbian yang hidup di sungai. Nama umbi-umbian sejenis talas tersebut adalah kareo dan kemudian digunakan sebagai nama desa saya yaitu Cikareo (ci artinya air atau sungai, dan kareo) yang saat ini dipakai sebagai nama dua buah desa bertetangga hasil pemekaraan beberapa dasawarsa silam, Cikareo Utara (desa saya) dan Cikareo Utara. Lalu, mengenai nama desa dan kecamatan Wado, guru saya berkelakar bahwa nama itu adalah sebuah singkatan dari frasa "wadah doa". Untuk yang satu ini, akhirnya saya menemukan bukti lain bahwa nama tersebut berasal dari sesuatu yang sama sekali berbeda. Nama tersebut saya temukan tercantum dalam salah satu naskah sangat tua dari peradaban Sunda kuno. Nama tersebut terdapat dalam naskah berjudul "Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian (SSKK)". Berikut saya cuplik bagian yang menyebutkan kata atau nama "Wado":
Naskah SSKK Bait II
Nihan sinangguh dasaprebakti ngarannya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di salaki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado, wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nanganan, nu nanganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasaprebakti ngarannya.

Arti dalam bahasa Sunda Kiwari:
Ieu nu disebut dasaprebakti: Anak bakti di bapa, pamajikan bakti di salaki, rayat bakti ka dunungan, murid bakti ka guru, patani bakti ka wado, wado bakti ka mantra, mantra bakti di nu nanganan, nu nanganan bakti ka mangkubumi, mangkubumi bakti ka ratu, ratu bakti ka dewata, dewata bakti ka Hyang. Tah eta dasaprebakti ngarana.

Arti dalam bahasa Indonesia:
Inilah yang disebut sebagai dasaprebakti (sepuluh kebaktian?): anak berbakti kepada ayah/bapak, istri berbakti kepada suami, rakyat berbakti kepada majikan (tuan tanah), murid berbakti kepada guru, petani berbakti kepada wado, wado berbakti kepada mantra (mantri?), mantra (mantri?), berbakti kepada yang menangani (pemimpin?), yang menangani (pemimpin?) berbakti kepada mangkubumi, mangkubumi berbakti kepada ratu (raja), ratu (raja) berbakti kepada dewata, dewata berbakti kepada Hyang (Gusti Yang Maha Tinggi). Nah, itulah yang disebut dasaprebakti.

Dari naskah tersebut bisa diketahui bahwa dalam masyarakat Sunda pada zaman Kerajaan Padjadjaran dikenal kelas sosial sebagai berikut:
1. Rayat atau Rakyat biasa, rakyat kebanyakan;
2. Dunungan atau Majikan atau Pemilik/Tuan Tanah atau dalam pengertian yang lebih umum adalah orang-orang kaya yang mampu membayar orang lain untuk melakukan berbagai macam pekerjaan mulai dari pekerjaan rumah hingga bekerja di badan-badan usaha miliknya;
3. Guru seperti yang kita kenal saat ini;
4. Patani atau petani, yang bekerja mengolah sawah;
5. Wado, mungkin merupakan mandor yang mengkoordinir para patani pengelola tanah milik para tuan tanah atau negara, dan bertanggung jawab langsung kepada mantra;
6. Mantra, dalam naskah diketahui bahwa mantra berkedudukan lebih tinggi daripada wado, mungkin merupakan gelar atau sebutan para tuan tanah ketika itu, kemungkinan besar memiliki arti yang sama dengan mantri (orang-orang berkedudukan tinggi di akhir zaman penjajahan Belanda sampai Indonesia merdeka yang biasanya memiliki keahlian di bidang tertentu misalnya di bidang kesehatan dan bertindak sebagai dokter);
7. Nu nanganan, tidak diketahui secara pasti apa maksudnya, atau posisi seperti apa, tetapi bisa dijelaskan sebagai para bangsawan yang mampu memperkerjakan beberapa mantra untuk mengelola harta kekayaannya. Kemungkinan adalah abdi negara setingkat camat.
8. Mangkubhumi, untuk gelar ini lebih mudah dijelaskan maknanya karena masih dikenal selama zama Belanda, mangkubumi adalah Bupati suatu wilayah kabupaten, jadi mangkubhumi adalah bupati.
9. Ratu adalah gelar untuk raja laki-laki.
10. Dewata, atau dewa adalah makhluk-makhluk gaib suci penghuni kahyangan yang mengatur segala macam peristiwa di bumi;
11. Hyang adalah Tuhan yang memiliki kekuasaan tertinggi yang menciptakan bumi, seluruh alam semesta, dan manusia serta merupakan pemimpin para dewata.

1 komentar: